Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Renungan Terhadap Nasib Bangsaku


Cindriyanto.com - Ketika keadilan, kebenaran dan kejujuran sudah tersandera oleh yang membayar maka Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dalam genggaman musuh bangsa.

Ketika para politisi, aparat keamanan dan penegak hukum sudah tergadaikan, maka keadilan hanya milik pemodal besar saja, yang pada gilirannya hukum hanya sebagai alat pembenaran terhadap tindakan represif dan penindasan terhadap rakyat bangsa ini.

Ketika orang yang mengaku islam menjadi centeng para musuh bangsa, maka kita akan menghadapi musuh bagaikan “musang berbulu domba”.

Ketika dilingkaran aksi bela islam ada “musang berbulu domba” yang gentayangan disekitar kami, dan bahkan menjadi mata-mata musuh islam. Maka sebagian para pejuang kami di tangkap dan di tuduh makar.

Ketika kami berjuang bukan mencari musuh, kami hadir dalam bela NKRI, bela penegakan hukum, bela kerukunan antara agama ini sebagai panggilan nurani yang sarat dengan nilai ilaihi.

Ketika mereka membalut kebohongan mereka atas nama demokrasi, NKRI, Pancasila, Tetapi sekaligus mempersiapkan akses masuknya kekuatan asing di indonesia. Maka Bangsa bagaikan hidup enggan matipun tidak.

Mari Kita Lanjutkan Perjuangan Kita Untuk Membebaskan Bangsa Ini Dari Para “Penyandera” Itu

MARI KITA BEBASAN:
· BANGSA KITA,
· TANAH AIR KITA
· TEMPAT LELUHUR KITA
· DAN KEMURNIAN KEYAKINAN ILAHI KITA DARI PARA PENYANDERA YANG MEREKA LAKUKAN SECARA TERENCANA, SISTEMETIS DAN TERSTRUKTUR

Kita memang terkepung oleh semua media mainstream yang sudah tergadai oleh “pembelinya”, sehingga para jurnalis bayaran di media mainstream hanya mengejar keuntungan sesaat atau semata saja. Sehingga kita kehilangan obyektifitas berita, khsususnya bagi ummat Islam.

Sebab, revolusi media tidak akan pernah terjadi di media arus utama. Karena mereka lebih sibuk dengan popularitas, rating dan uang. Justru revolusi media lahir dari pinggir, dan dilakukan oleh sekelompok orang yang dianggap tidak ada.

Para jurnalis muslim sedikit yang memahami peran dan tugasnya untuk bekerja sesuai dengan rambu-rambu syar’i. Mereka justru menjadi bagian dari scenario besar yang hendak memadamkan cahaya Islam di bumi pertiwi ini, secara sadar maupun tidak.

Kita sebagai ummat Islam memang mayoritas secara statistic, namun lemah untuk membangun opini public yang positif tentang dirinya sendiri. Sehingga begitu banyak pemberitaan yang menyudutkan Islam secara subyektif.

Sekali lagi, mari kita rebut kembali bangsa ini dari para “penyadera” yang mereka lakukan secara MASSIVE, TERENCANA, TERSTRUKTUR DAN SISTEMETIS,

Tahun 2019 akan menjadi muara ketegangan besar antara warga yang sadar akan ancaman dari kepunahan bangsa ini, melawan warganegara Indonesia yang menjadi komprador asing.

Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa ketegangan yang ada berakar pada kekuatan-kekuatan kospirasi global asing yang melampaui setiap perdebatan kebijakan yang kini berlangsung. Hubungan antara Islam dan sekuler selama ini mencakup beberapa puluh tahun koeksistensi dan kerja sama, tapi juga konflik dan perang bernuansa agama.

Sehingga ada yang bilang Pilpres 2019 akan mentukan nasib Indonesia apakah benar-benar punah dan bercerai berai atau tetap bertahan.

Sebab gendering perang telah di tabuh, yakni perang Asymetris yang telah dilancarkan dengan ciri pelemahan kekuatan social ekonomi dan Devide et Impera diberbagai bidang dan elemen masyarakat baik sipil maupun militer.

Bahkan dalam dunia Cyber sudah terjadi “battle ground” yang sangat seru.

Sungguh naif jika masih ada elit bangsa (baik dari sipil maupun dari TNI) yang mengatakan kondisi bangsa saat ini masih aman dan akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030.

Sementara peringatan dari cerita di “Ghost Fleet” dianggap fiksi dan hoaks belaka. Mereka adalah orang-orang telah ditutup hati dan oleh materi, jabatan dan kesenagan dunia lainnya, terhadap fakta yang dilihat dan dirasakan saat ini.

Dilain pihak pernyataan mereka sarat dengan pemutar balikkan fakta yang bernada fitnah dan adu domba terhadap sesama ummat beragama.

Selama hubungan kita sesama bangsa ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kita, maka kita akan memperkuat mereka yang menyebarkan kebencian bukan perdamaian, mereka yang mempromosikan konflik bukan kerja sama yang dapat membantu semua rakyat kita mencapai keadilan dan kemakmuran. Lingkaran kecurigaan dan permusuhan sesama bangsa ini harus kita akhiri.

Negara-negara predator itu lupa sejarah manusia yang telah merekam berbagai bangsa dan suku yang mencoba menaklukkan satu sama lain demi kepentingan negara dan kelompoknya, justru akan merugikan dirinya sendiri.

Karena di era global ini kita dituntut untuk saling ketergantungan satu dengan yang lai. Dimana setiap tatanan dunia yang mengangkat satu bangsa atau sekelompok orang lebih tinggi dari yang lain pada akhirnya akan gagal.

Jadi apa pun pikiran kita mengenai masa lalu, kita tidak boleh terperangkap olehnya. Masalah-masalah kita harus ditangani dengan kemitraan, kemajuan harus dibagi bersama.

Perang mungkin tidak terhindarkan. Mungkin kita memerlukan perang untuk mencapai rasa keadilan. Sebab tanpa rasa keadilan, maka selama itu pula kedamaian yang bernilai kemanusiaan itu tinggal ilusi.

Allahu Akbar, ....... Allahu Akbar,....... Allahu Akbar ....

IMPEACHMENT SEBAGAI SOLUSI POLITIK & DEMOKRASI

Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a Quasi Political Court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, atau parleme. Disebut juga dengan quasi political court.

Impeachment atau Pemaksulan seorang Presiden atau Wapres di beberapa negara, pada umumnya di persepsikan karena adanya kepatutan dugaan yang diyakini sebagai pelanggaran oleh pejabat Presiden atau Wakil Presiden yang dapat mengancam keamanan negara, atau perebuatan korupsi.

Sehingga impeachment / pemaksulan yang terjadi selama ini telah mewarnai persepsi hukum dan sekaligus DIANGGAP sebagai SOLUSI politik dalam demokrasi moderen. Kasus impeachement yang terbaru adalah kisah pemaksulan Presiden Brasil, Dilma Rousseff pada tanggal 12 May 2016 lalu.

MEKANISME IMPEACHMENT / PEMAKSULAN DI INDONESIA

Sejak Indonesia mewmproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia telah memaksulkan 3 orang Presiden nya. Walaupun proses pemaksulan ketiga orang Presiden itu dalam konteks dan latar belakang yang berbeda-beda. Dan proses impeachment ketiga Presiden Indonesia itu tanpa melalui proses peradilan pada lembaga hukum lain, kecuali MPR. Namun, kekuatan utama terjadinya impeachment di Indonesia selama ini selalu didahului oleh adanya keinginan dan dukungan Rakyat banyak atau People Power dan pada akhirnya mendapat dukungan TNI.

Namun, saat ini proses impeachment/pemaksulan di Indonesia mengalami perubahan UU. Dimana Mahkamah Konstitusi ikut dilibatkan. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia yang mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses impeachment di Indonesia saat ini melalui proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment.

Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.

PENUTUP

Segenap anak bangsa tak sadar kalau sedang dipecah-belah ("dikotak-kotak") melalui apa yang diistilahkan sebagai devide et impera, termasuk adu-domba secara halus antara TNI - Polri, anak-anak kandung revolusi kemerdekaan nasional NKRI. Padahal keduanya merupakan 'perekat bangsa.' Alhasil, memecah-belah TNI-Polri maka pecahlah bangsa ini. Pelemahan internal NKRI sedang berlangsung di republik kita ini.

Yang jelas, ketiga agenda di atas tengah berjalan secara masif dan sistematis jelang Pilpres 2019. *Sepertinya ada invisible hand (tangan-tangan tersembunyi) dari kejauhan yang "meremote" kegaduhan politik di Bumi Pertiwi.*

Sang invisible hand inilah "musuh bersama" (common enemy) bangsa ini. Dan uniknya, sebagian dari kita justru membela mati-matian si common enemy.

Maka inilah apa yang disebut dengan istilah *Stockholm Syndrome.* Apa hakikinya Stochold Syndrome itu? "Seseorang, atau kaum, kelompok, dan sebagainya, yang justru mencintai, membela bahkan mendukung total para sosok yang hendak dan tengah membinasakan dirinya."

Dengan demikian Stockhold Syndrome artinya: Kita tidak sadar (akibat ketidakpahaman), atau sebagian dari kita pura-pura tak sadar karena turut menikmati (bagian dari skema common enemy)?

Pertanyaan selanjutnya: Siapa musuh bersama bangsa yang menyebabkan kemiskinan tak bertepi di negeri kaya raya ini?"

Maka jawabannya terletak dalam hakekat dari Stockhold Syndrome itu sendiri.

Kegelisahan pokok yang mendasari tulisan saya ini adalah, ketika TNI-POLRI yang merupakan titik-tumpu dari tegaknya NKRI saja sedang dalam proses dilemahkan dari dalam, apalagi yag terkait langsung dengan elemen-elemen masyarakat.

Begini gambarannya. Saya menangkap sedang ada tren berulang seperti pada 1965 dan kejadian-kejadian sesudahnya. Yang agaknya sekarang sedang di daur ulang.

Kalau dulu komunisto phobia, sekarang Islamophobia. Kalau dulu semua tanggungjawab politik tragedi 1965 ditimpakan pada PKI, padahal yang bermain ketika itu nggak cuma PKI. Sekarang segala urusan yang sebetulnya berakar pada krisis multi-aspek, semuanya ditimpakan penyebab hulunya adalah FPI dan Islam radikal atau garis keras.

Makanya kalau sekarang saya, atau beberapa kawan, terkesan membela FPI, bisa jadi juga karena menangkap gelagat itu. Dari dulu sampai sekarang meskipun saya tidak berpaham komunis, tetapi saya juga khawatir bahaya laten komunis atau PKI.

Memang ada asumsi dan hipotesa yang mengatakan bahwa ada skema besar yang justru mau tetap memanfaatkan tetap berlanjutnya isu PKI, untuk jadi tameng bagi para kapitalis global dan VOC-VOC gaya baru untuk ekspansi ke Indonesia. Dan melestarikan militerisme di Indonesia. Tetapi kewaspadaan atas terulangnya upaya kudeta PKI tidak bisa di hilangkan dengan hipotesa tersebut.

PKI memang sudah dibubarkan oleh Pak Harto sejak 1966, ideologi komunis itu sendri sebenarnya tidak pernah mengakar denga sempurnah di Indonesia. Dan para pejabat sipil-militer era itu juga sebenarnya tahu itu. Namun, bisa dimaklumi jika isu bahaya laten PKI tetap membekas. Memang ada pihak asing dan para kompradornya yang ingin memanfaatkan untuk Melumpuhkan skema Nasionalisme Kerakyatan yang sesungguhnya akar ideologisnya justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan Komunis apalagi PKI.

Lantas, kenapa sekarang kita merasa perlu membela FPI? Yang membela FPI atas dasar kesamaan paham politiiknya FPI tentu saja ada, terutama ya kader-kadernya FPI. Tapi kenapa umat Islam lainnya, yang sebenarnya berpaham mahzab lain juga mendukung dan bersimpati? Karena merasakan adanya gejala dan berkembang menjadi kecemasan yang sama.

Memang ada pihak yang meragukan asumsi dan hipotesa kebangkita PKI benar adanya, dengan tuduhan mau melumpuhkan skema dan kekuatan-kekuatan pendukung nasionalisme kerakyatan. Tetapi kenyataannya fakta dilapangan bukan asumsi dan hipotesa belaka tentang kehadiran Komunisme di Indonesia.

Justru umat Islam saat ini merupakan elemen strategis dan basis kekuatan gerakan nasionalisme kerakyatan, untuk melawan kebangkitan PKI bukan saja sampai akhir masa pemerintahan Pak Harto, sebab kami tidak yakin PKI sudah modar 30 tahun sebelumnya.

Kenapa sekarang sepertinya ada gerakan mengganyang FPI? dan menghadang Prabowo, Nah inilah skema yang sedang dikondsikan, yaitu mencegah bersatunya gelombang besar Nasionalisme dan Islam, menjelma menjadi skema nasionaslime kerakyatan yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945 asli.

Kalau benar kita sedang mengidap *Stockholm Syndrome* , maka serangan asimetris asing di sektor ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan, pada perkembangannya akan berjalan sukses secara paripurna. Tanpa melibatkan satu kompi pasukan sama sekali. Dan bahkan tanpa meletuskan satu peluru sama sekali.

Sumber : Insanial Burhamzah